Sabtu, 28 April 2012

Tari Hadrah Kuntulan



Apa itu Hadrah  Kuntulan ?

Hadrah Kuntulan yang juga disebut kundaran, merupakan salah satu dari sekian seni tradisi yang masih bertahan hingga kini. Berbagai perubahan yang mewarnai perjalanan kuntulan menunjukan kecerdasannya dalam menghadapi setiap perubahan. Identifikasi sebagai karya seni bernuansa Arab - Islam melekat pada kesenian ini pada masa awal kemunculanya. Sperti halnya Ujrat, Tunpitujat dan pembacaan al-Barjanji dengan diiringi alat musik Gembrung yang pernah ada Banyuwangi seperti catatan seorang antropolog pada tahun 1926, John Scholte. Karena itulah pada mulanya pertunjukan seni ini di dominasi oleh laki-laki. Pertemuanya dengan kesenian asli banyuwangi seperti Gandrung, Damarwulan, dan Trengganis serta tarian lainnya merubah hadrah kuntulan menjadi kesenian yang unik dan khas.

Tidak hanya gerakan tarinya, musik dan tembang-tembang yang dibawakan pun merupakan kolaborasi unik kesenian tradisi daerah Banyuwangi dan kesenian gurun. Kehadirannya juga menambah perbendaharaan dan warna kesenian tradisional di tanah air. Persinggunganya dengan berbagai realitas sosial dan kebudayaan masyarakat banyuwangi membawa kesenian ini ke dalam dinamisasi yang khas dan sekaligus persoalan yang komplek.


Filosofi Burung Kuntul

Sebutan Kuntul sebagai simbol, menurut Sutedjo HN, budayawan Banyuwangi, merupakan representasi dari gaya hidup sosial yang lebih mementingkan kebersamaan, serasa dan sepenanggungan di antara sesamanya. Hal ini di ilhami dari cara hidup burung Kuntul/Bangau yang selalu memanggil teman-temannya dikala mendapatkan makanan.

Pendapat ini ditunjang kondisi pertanian yang ada di Banyuwangi. Kesuburan tanah yang terhampar memberikan kemudahan para petani dalam bercocok tanam. Sambil menunggu tanaman padi memasuki musim panen, para petani di Banyuwangi terbiasa memanjakan diri mereka dengan memainkan Angklung.

Perjalanan hidup yang sulit membangkitkan para seniman daerah merespon dalam bentuk kesenian. Maka Kuntulan sebagai perlambang dari kerukunan masyarakat memberi kesadaran baru pada seluruh masyarakat Banyuwangi agar hidup dalam kebersamaan untuk mewujudkan Banyuwangi yang senasib dan sepenanggungan tanpa ada rasa ingin menguasai tanah warisan leluhur sebagai milik individual.

Nama kesenian yang diambil dari hal-hal di sekitar kehidupan masyarakat ini juga bisa ditemukan dalam beberapa kesenian di Banyuwangi lainnya, seperti Genjer-genjer. Ketika Jepang masuk Banyuwangi, kehidupan masyarakat Banyuwangi mengalamai kekurangan pangan yang cukup parah. Banyak dari penduduk tidak bisa hidup layak seperti sebelumnya. Gambaran kesulitan ini bisa dilihat dari hasil karya seniman setempat, lagu Genjer-genjer yang muncul pada tahun 1942 karya Moh. Arif, memberikan gambaran kesulitan pangan penduduk Banyuwangi sebagai imbas pendudukan Jepang di wilayah Banyuwangi, sehingga tumbuhan Genjer yang tumbuh liar di area persawahan dan tidak menjadi perhatian penduduk, akhirnya dijadikan bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari.


Busana Dan Alat Musik

Pengaruh busana penari gandrung dapat dilihat pada beberapa bagian busana penari kuntulan bersangkutan. Hanya saja ditambahkan kerudung, baju celana tertutup serta ada pengaruh Bali didalamnya. Tangan sang penari juga ditutup kaus tangan berwarna putih, dan kakinyapun tertutup kaus kaki putih. Sekarang busananya banyak mengalami modifikasi alias ubahsuai dari busana semula yang sebenarnya serba putih seperti warna bulu burung kuntul (bangau). Terkadang ada pengaruh Bali yang tercermin dari adanya untaian bunga kamboja ditelinga pemain Kuntulan ini.

Perangkat musik kuntulan sendiri sangat dipengaruhi oleh budaya sekitarnya dan tak dapat dipungkiri musik dan gerak tari Gandrung (tari rakyat setempat yang menjadi lambang Banyuwangi) juga ikut masuk. Namun irama dasarnya tetaplah sama dengan hadrah lainnya. Selain enam buah rebana sebagai alat musik utamanya (dalam kuntulan baku), ada penambahan-penambahan seperti jidor (semacam drum), beduk besar, beduk kecil, kenong, kluncing (triangle), gong, biola dan kadang keyboard (saat ini) sebagai penguat nada. Selain itu bonang Bali kadang juga dipakai dalam kesenian kuntulan ini. Serta dalam beberapa kesempatan sering ditambahkan angklung caruk sebagai pemanis, dan lagi-lagi sesuai permintaan penonton. Sedangkan irama yang digunakan menurut Rizaldi Siagian seorang pakar etnomusikologi adalah irama silang (cross rhythm) dan poly rhythm atau irama banyak sebagaimana pada gamelan Bali. Ini dimungkinkan karena letak Banyuwangi yang berdekatan dengan Bali.

Kekhasan lain dalam kesenian hadrah kuntulan atau kundaran ini  ialah iramanya yang mempunyai karakter keras,agresif dan menyentak bahkan saat tampil, para  pemain musiknya terlihat seolah bahu membahu menciptakan nada yang dinamis dan penuh semangat sehingga wajar kalau disebut musik cadas khas Banyuwangi bahkan  sesekali kita harus menutup telinga karena saking begitu keras suaranya, ditambah para pemain jidornya yang kadang seperti kesurupan saat bermain... Lagu-lagunyapun tidak selalu Islami, namun juga banyak memasukkan lagu-lagu daerah dan kadang lagu pop yang sedang populer saat ini.

Sumber : roliandalas.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar